24 Agustus 2009

Kolam Pancing dan Warung Lesehan Tirta Alam

Menyantap Ikan Bakar, Menikmati Keasrian

SUASANA pedesaan lengkap dengan kesejukan udara dan kejernihan air sering menjadi simbol keasrian dan kesehatan sebuah lingkungan. Suasana tersebut dinilai bisa menerbitkan kenikmatan tersendiri bagi beberapa orang.

Suasana itulah yang dijual Kolam Pemancingan dan Warung Lesehan Tirta Alam di Desa Karanggondang, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan. Di atas tanah 13.630 m2 berdiri bangunan megah yang ditata secara rapi dan asri, berbentuk beberapa petak ruang makan lesehan dengan dikelilingi kolam ikan.

Gemercik air pegunungan yang jernih membuat ikan-ikan yang menari dan berkejar-kejaran terlihat jelas. Itu tidak hanya menerbitkan selera makan namun juga membuat para pengunjung betah berlama-lama tinggal.

"Kami sengaja mendesain tempat ini agar menciptakan suasana santai dan asri sehingga pengunjung tidak hanya bisa makan tapi juga bersantai," ujar H Ibnu Sudiyono (50), pemilik pemancingan tersebut.

Dia mengaku terinspirasi untuk membuka warung lesehan dan kolam pemancingan karena melihat desanya mempunyai sumber daya alam yang masih bersih. Terutama air jernih yang langsung mengalir dari pegunungan. "Sejak 2001 saya mulai membangun kolam ini secara bertahap dan pada 11 Januari 2004 dibuka untuk umum," tutur dia yang juga Kades Karanggondang tersebut.

Tirta Alam, ujar dia, dibangun memang tidak hanya untuk tempat makan tapi juga tempat wisata alam yang nyaman dan asri. Karena itu selain ruang makan dan kolam pancing, Tirta Alam juga menyediakan beberapa fasilitas untuk membuat pengunjung semakin betah, seperti minimarket, mushala, ruang pertemuan, dan tempat parkir yang luas.

Selain kolam pemancingan di sekeliling ruang makan, pada bagian belakang juga ada arena pemancingan yang lebih luas dengan background pemandangan pepohonan nan hijau yang tertata rapi. Dengan demikian, para pengunjung yang hobi memancing bisa mengail ikan sambil menikmati kesejukan udara gunung yang alami.

Menu Variatif

Untuk menu makan, ujar Ibnu, variatif sesuai dengan selera para pengunjung. Selain ikan bakar atau goreng, ikan emas, bawal, gurami, dan jenis ikan lainnya juga bisa disajikan dengan pepes.

Harga tiap porsi untuk ukuran ikan segar juga tidak mahal, Rp 18.000 - Rp 28.000. "Ditambah dengan berbagai jenis minuman, kami jamin para pengunjung akan puas," ujarnya.

Meski tergolong sebagai rumah makan dan pemancingan baru, ternyata Tirta Alam menyedot perhatian masyarakat di Kota Santri. Bahkan, tidak kalah ramai dari tiga pemancingan di Kecamatan Karanganyar yang sudah ada sebelumnya.

Setiap hari warung makannya menghabiskan lebih kurang 45 kilogram ikan. Pada hari-hari libur, jumlah tersebut bisa lebih besar lagi.

Beberapa pengunjung yang kebetulan ditemui Suara Merdeka mengaku senang makan di lokasi itu karena suasananya yang asri dan nyaman. "Saya datang ke sini karena ingin menikmati ikan bakar dengan suasana tenang dan sejuk," tutur Slamet (30), warga Kedungwuni yang tengah menikmati ikan emas bakar dengan teman wanitanya di salah satu ruang yang dikelilingi kolam ikan.

Suasana sejuk dan nyaman, ujar dia, saat ini sangat sulit didapatkan sehingga Tirta Alam menjadi pilihan utamanya saat ingin bersantai. "Kalau makan di sini lebih romantis, rasanya seperti makan di atas kapal dan sedang mengapung," ujarnya sambil tersenyum melirik teman wanitanya.

Rohadi (40), pengunjung yang lain, menyatakan senang di Tirta Alam. "Di sini enaknya ada ruangan makan yang luas sehingga nyaman untuk makan bersama anggota keluarga," ungkap warga Buaran.(Muhammad Burhan_Suara Merdeka)

11 Agustus 2009

Kolam Renang Tirta Alam



Fasilitas Kolam Renang :
1. Kolam renang dewasa dan anak-anak
2. Tempat Bermain anak
3. Penyewaan Ban
4. Becak Air Angsa
5. Kantin dan Pondok Makan
6. Kamar mandi yang bersih
7. Dan lain-lain

Kuliner Khas Pekalongan



Menikmati sajian makan di pondok & kolam pemancingan tirta alam akan disuguhi suasana yang nyaman diiringi gemericik air, pemandangan sawah indah membentang, udara yang sejuk dan nyaman, serta pondok saung yang bersih...

08 Agustus 2009

Ebiet G Ade Nostalgia ke Jembatan Lolong

MAKAN - Usai mengunjungi jembatan Lolong, Karanganyar, Ebiet G Ade (kiri baju hitam) bersama rombongan didampingi Ketua DPRD HM Asif Kholbihi mampir ke wisata kuliner di Tirta Alam Karanganyar, Sabtu (8/8) kemarin.

Dari Kunjungan Penyanyi Balada Ebiet G Ade di Kota Santri

JIKA Anda mengaku penggemar Ebiet G Ade, pasti tahu penggalan syair lagu di atas. Ya, itulah lagu Lolong yang pernah populer di tahun 1980-an.
Lagu ini menggambarkan panorama Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, terutama Jembatan Lolong yang menginsirasi penyanyi balada kelahiran Banjarnegara itu. Eksotisme jembatan batu yang melengkung itu pernah dilihat Ebiet tatkala berkunjung ke desa itu, beberapa waktu lalu.
Gemericik air yang jernih dan panorama indah di sekitar jembatan, ditambah kesejukan udaranya, membuat siapapun betah tinggal berlama-lama dan merenungkan banyak hal, temasuk mengagungkan kebesaran Tuhan atau mencipta lagu.
Melihat kondisinya yang masih kokoh, sebagian besar orang mengira jembatan gantung itu baru dibuat pada tahun 1980-an. Padahal jembatan ini dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1927, atau 82 tahun yang lalu.
Jembatan sepanjang 25 meter yang melintas di atas Sungai Sengkarang itu menjadi salah satu kebanggan warga desanya.
Jembatan itu menjadi saksi kegigihan para pejuang Pekalongan saat menghadapi tentara penjajahan Belanda.
Sabtu (8/8) kemarin pelantun lagu balada Ebiet G Ade, disela-sela pementasannya di gedung DPRD Kabupaten Pekalongan kemarin, menyempatkan diri mengunjungi situs sejarah salah satu diantaranya jembatan Lolong.
Usai ke Lolong, Ebiet beserta rombongan mampir di wisata kuliner Tirta Alam Karanggondang, Kecamatan Karanganyar, Ebiet G Ade sambil nostalgia berbincang-bincang bersama anggota DPRD Kajen tersebut.
"Dulu, di bawah jembatan itu terjadi pertempuran antara pejuang Indonesia dan penjajah Belanda," tutur ketua Klaster wisata Kabalong Ibnu Sudiyono.
Tidak jauh dari tempat itu, terdapat Dusun Karanganjing yang menjadi tempat pembuangan mayat para pejuang yang gugur di medan laga. Sebagian besar pejuang Pekalongan yang sekarang masih hidup, pasti tahu pertempuran di bawah Jembatan Lolong.
Jembatan itu telah menjadi situs sejarah dan banyak menyimpan cerita. Salah satunya adalah keyakinan kalau ada gadis yang mandi pada Jumat Kliwon di sekitar Jembatan Gantung, tepatnya di antara pertemuan Sungai Sengkarang dan Wisnu, maka dia akan cepat mendapat jodoh.
Tidak heran jika dulu banyak gadis yang mandi bersama saat Jumat Kliwon. Sekarang situasinya sudah berubah, karena persoalan etika. Tidak banyak lagi perempuan lajang yang melakukan ritual tersebut.
MBAH SENGKER
Situs sejarah lainnya adalah petilasan dan makam sejumlah ulama. Yang paling sering dikunjungi peziarah antara lain makam Syekh Abdurahman Arrumi dan Syekh Jogodono.
Di Desa Karangondang, ada makam Mbah Kiai Sengker yang masih berbentuk jejeran batu kuno. Beberapa batu besar bertebaran di sekitar makam. Ada yang berbentuk kayu, yang konon merupakan bahan untuk rencana pembangunan masjid.
Konon Kiai Sengker adalah prajurit dari Surabaya yang singgah dan menetap di daerah ini. Dia lalu mendirikan padepokan di lokasi yang kemudian diberi nama Karanggondang. Di tempat ini dia mendidik 12 muridnya. Salah seorang muridnya berhasil mengalahkan Baruklinting, yaitu seekor naga, melalui sebuah pertempuran sengit.
Jejak-jejak cerita rakyat itu saling terangkai dengan daerah sekitarnya. Situs sejarah yang sangat banyak dan tersebar itu menarik minat banyak antropolog dan ilmuwan untuk menelitinya.
Kades Karanggondang, H Ibnu Sudiyono, menjelaskan di sekitar Wisata Kabalong banyak situs sejarah dan banyak yang meneliti berbagai situs bersejarah itu.
"Dari hasil penelitiannya sementara, diprediksi masih banyak batu bersejarah di dalam tanah sekitar Kabalong,’’ tuturnya.
Jika kelak di kawasan itu ditemukan situs-situs baru, maka Kabalong dapat menjadi tujuan para peneliti, sejarawan, dan penggemar budaya. (*) Kuswandi_Radar Peka1ongan